Salah satu hal yang paling sulit ditemui dari sekolah di Jakarta adalah pemandangan hijau dan asri. Dari 5000an sekolah, hanya 2 sekolah yang memiliki lahan hijau dan terpelihara dengan baik. Salah satunya di SMPN 103, Cijantung, Jakarta Timur. Predikat sebagai Sekolah Adiwiyata pun jatuh ke sekolah ini, sekolah yang peduli akan pelestarian lingkungan hidup.
Begitu sampai di SMPN 103 Jakarta Timur, tak ada tanda-tanda lingkungan yang hijau dan asri. Yang ada justru hamparan lapangan parkir beralas semen.Begitu memasuki gerbang sekolah, barulah jelas mengapa sekolah ini diganjar penghargaan Adiwiyata, sebagai sekolah yang melestarikan lingkungan hidup.
Kantin yang terdiri dari 12 lapak ini terlihat sangat bersih. Siswa memang dibiasakan untuk membuang dan memisahkan sampah plastik dan sampah organik. Sampah plastik akan didaur ulang.
“Kalau dari sampah-sampah dari bekas minuman
PLKJ adalah Pendidikan Lingkungan Kehidupan Jakarta. Saat pelajaran itu, siswa diajarkan membuat kerajinan tangan dari sampah plastik. Hasilnya lantas dijual atau diberikan kepada tamu yang berkunjung ke sekolah. Bentuknya aneka rupa, dari bunga plastik, tempat tisu sampai pot bunga.
Sementara sampah organik diolah jadi pupuk, digunakan untuk keperluan sekolah. Di sini ada seribu lebih jenis tanaman. Sekolah bahkan punya sendiri alat pencacah untuk menggiling sampah. Dwi Herlina, siswa kelas 8, menjelaskan proses pengomposan.
“Ini mesin pencacahnya. Jadi daun dicacah di sini, terus dimasukin ke drum-drum. Itu
Kunjungan berlanjut ke Toga alias tanaman obat keluarga. Setiap tanaman obat di lahan ini diberi papan nama, lengkap dengan khasiatnya.
Di tengah sekolah, ada lahan hijau yang sangat luas, mencapai 1/3 seluruh lahan yang ada di sekolah ini. Di
Ayam dan ternak lainnya dibiarkan lepas di lahan yang ada di sebelah taman lalu lintas. Lahan ini paling banyak jenis tanamannya. Mencapai 500 jenis, kata Tia Widayanti, siswi kelas 8.
Sekolah ini juga punya 400 lubang biopori.
Siswa SMPN 103 tak hanya rajin merawat lingkungan di dalam sekolah. Yang di luar sekolah pun tak luput dari perhatian, kata pembina siswa lingkungan hidup, Lilis Yuliani.
“Jadi mereka sampai hari Sabtu tuh saya dikejar-kejar. Kejar-kejar, kalau latihan mereka engga mau lagi di dalam. Jadi, “Bu kita penyuluhan.” Ke mana? Ke TK, ke SD. Jadi kita udah ke TK, SD. Keluarga juga kita PSN, pemilahan sampah, pengomposan. PSN, pemberantasan sarang nyamuk, untuk mengurangi DBD,” tambah Lilis.
Hijaunya sekolah ini membuat SMP 103 Jakarta Timur diganjar predikat Adiwiyata. Artinya sekolah ini berhasil mewujudkan pelestarian lingkungan lingkungan hidup, baik dari kondisi sekolah maupun perilaku warga sekolah.
SMPN 103 Jakarta Timur punya kegiatan ekstra kurikuler yang tak dimiliki oleh banyak sekolah lainnya. Judulnya adalah Eskul Lingkungan Hidup. Eskul dibagi dalam 16 kelompok kerja, pokja, yang tugas utamanya memastikan lahan hijau sekolah terjaga baik.
Nurul, kelas 7, ikut pokja kompos, salah satu pokja yang paling laris diburu siswa.
Kepala Sekolah SMPN 103, Ike Dorojatun mengatakan, di setiap pokja, siswa diberi tanggung jawab untuk mengelola lahannya masing-masing.
“Satu hal yang dapat kami garis bawahi dalam meraih prestasi tersebut adalah membentuk tim kerja, baik tim kerja siswa, terutama tim kerja yang berhubungan dengan tim kebersihan siswa sekolah. Ini kita punya schedule, tiap hari apa dia memeriksa lahan yang diberikan kepada mereka. Guru juga sebagai pendamping dan orang tua di sekolah memberi arahan yang bersifat saja.”
Pemeriksaan lahan dilakukan tiap pekan. Untuk pokja tanaman obat misalnya, mereka mengecek tanaman mana yang siap digunakan untuk pengobatan. Atau pada pokja peternakan, dilakukan pemeriksaan kesehatan hewan, seperti ayam dan kelinci.
Pelajaran lingkungan juga ditegakkan dalam kehidupan sehari-hari. Aturan ketat soal kebersihan menanti. Buang sampah sembarangan bakal berbuah denda, kata Tia Widayanti, kelas 8.
“Nah jadi kalau ada yang buang sampah sembarangan, kita aduin ke guru. Terus dia suruh bayar 5000, 3000 buat sekolah, 2000 buat kita yang mengadukan. Sampai sekarang jarang ada yang nyampah.”
Kepekaan terhadap lingkungan memang jadi keunggulan SMPN 103 ini. Materi lingkungan diintegrasikan dengan pelajaran lain, seperti berhitung. Perombakan kurikulum ini sudah diterapkan sejak 2006 silam.
“Matematika contohnya. Jadi karena kita dipaksakan, harus mengintegrasi semua pelajaran masuk LH, jadi misalkan untuk mengukur tinggi, mereka dilepas di kebun. Mengukur tinggi pohon cemara itu berapa kira-kira, pakai perkiraan. Jadi dia bisa melihat segitiga itu kira-kira berapa. Jadi engga hanya di kelas, di alam semua bisa,” kata Lilis.
Awalnya sangat sulit, kata pembina siswa, Sugiyanto, karena sekolah harus merumuskan sendiri kurikulum lingkungan yang akan diterapkan di sekolah. Ini sekaligus jadi syarat sekolah untuk mendapatkan predikat Adiwiyata.
“Mata pelajaran ini memang agak sulit untuk dibuka, dibuat karena harus bikin sendiri, berkaitan dengan lingkungan hidup. Kebetulan karena dasar kita sudah juara UKS nasional, jadi untuk pokja-pokja dari UKS itu sendiri sudah banyak menguasai masalah lingkungan,” tambah Sugiyanto.
Guru dan murid di SMPN 103 bersatu padu mewujudkan sekolah mereka yang hijau dan asri. Inilah alasan mengapa sekolah ini memenangkan predikat Adiwiyata, kata Kepala Bidang Edukasi Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup, Jo Kumala Dewi.
“Jadi 40 itu kebijakan, 30 pembelajaran, 20 kegiatan, 10 fisik. Nah fisik ini kita lihat dari sarana yang ramah lingkungan. Apakah mereka punya Toga tadi, kemudian kolam ikan, hutan sekolah, biopori, tapi bukan hanya keberadaannya yang kita lihat, tapi dipakai sebagai media pembelajaran, sumber belajar,” ujar Jo Kumala Dewi
Di seluruh
Sementara di Jakarta, hanya 2 sekolah yang meraih gelar ini. Jo mengeluhkan sedikitnya sekolah di
“Memang terlihat sekali ada tren penolakan. Penolakan dalam arti karena mungkin
Tahun ini, SMP 103 menjadi satu-satunya SMP bergelar Adiwiyata, alias peduli lingkungan hidup. Erlin dan Mio siap mempertahankan gelar ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar